Jumat, 02 Mei 2014

Pemilu dalam kacamata anak muda

Pemilihan legislatif sudah selesai terlaksana. Meskipun terdapat kekurangan disana-sini, kita boleh bersyukur bahwa Indonesia dapat membuktikan dirinya sebagai negara demokrasi. Boleh dibanggakan juga bahwa pileg dapat berjalan lancar, tanpa adanya konflik maupun kejadian yang luar biasa. Memang tak bisa dipungkiri bahwa terdapat banyak politik uang, kecurangan maupun keterlambatan logistik pemilu. Namun, semua itu adalah langkah pembelajaran, perlahan lahan namun pasti menuju demokrasi modern.



Kaum muda dan politik

Banyak pertanyaan muncul saat membicarakan politik dikalangan teman-teman sebaya saya, antara lain ; Siapa yang harus dipilih? Mengapa saya harus pilih partai itu/orang itu? Apa kepentingannya dan keuntungannya buat saya? Apakah 1 suara saya berpengaruh? Buat apa saya memilih apabila pada akhirnya nanti dicurangi juga? Apakah 1 suara saya sebanding dengan waktu yang saya sisihkan untuk memilih para 'wakil' rakyat itu?

Apatisme anak muda di Indonesia terhadap politik, termasuk saya, tidak sepenuhnya salah. Saya pun sering berpkir bahwa apalah arti 1 suara dibandingkan masa partai politik yang jumlahnya ribuan? Bukankah kewajiban saya sebagai warga negara terbatas hanya pada membayar pajak, tidak membuat masalah dan menaati peraturan yang ada? Saya sendiri, saat memilih wakil rakyat didaerah rumah saya tidak henti-hentinya berniat untuk mengurungkan niat untuk memilih lantaran panjangnya antrian di TPS, panasnya hari yang membaut saya malas beranjak keluar rumah dan keraguan saya untuk memilih. Jujur, hingga hari H pemilu, saya tidak tahu hendak memilih siapa. 1 pun tidak ada yang saya kenal orangnya maupun visi misinya diantara jajaran puluhan nama asing. Bosan rasanya saya mendengar janji-janji busuk 'mereka' yang seakan tidak tahu malu.memaparkan visi-misi yang rasa-rasanya tidak akan mereka ingat nantinya. Janji 'mensejahterakan rakyat, ekonomi berbasis rakyat, membela kepentingan rakyar' sepertinya disebut oleh semua caleg yang saya lihat. Saya hanya pernah liat iklan-iklan mereka yang mengotori Jakarta dengan senyuman memaksa(+hasil editan Photoshop/CorelDraw supaya terlihat putih, bersahaja dan mulus seperti tampang pejabat kebanyakan), nomor urut, nama partai dan kata-kata yang biasanya diakhiri kata-kata 'rakyat'. Entah rakyat mana yang mereka maksud dalam janji mereka, entah 'rakyat partai' atau 'rakyat perusahaan yang mereka miliki' karena hingga kini saya tidak melihat adanya perubahan dalam sikap, perilaku dan peran mereka yang hanya datang telat, titip absen(ya, layaknya mahasiswa--hal ini dipelajari semenjak mereka duduk di bangku sekolah), duduk 15 menit sambil 'cuap-cuap' biar terlihat aktif, keluar bersama para ajudan dan menyalakan sirine untuk memaksa rakyat menyingkir di jalan-jalan yang mereka lewati. Entah mengapa saya pun beranggapan demikian .

Saya tidak berminat memilih pun karena saya tidak mau 'berdosa karena memilih para koruptor' . Pikir saya, 'lebih baik saya tidak memilih, jadi seandainya para wakil rakyat itu terpilih dan melakukan korupsi, saya tidak merasa berdosa dan tidak ikut bertanggung jawab atas perilaku menjijikan mereka'. Saya bingung apabila ditanya "lebih baik bertaruh pada tokoh yang anda tidak kenal--bisa baik bisa buruk, atau dalam istilah saya 'kabur' dengan tidak ikut berpartisipasi dalam perjudian ini. Banyak orang memilih kabur dari perjudian karena mereka merasa lebih aman pura-pura tidak tahu dan menunggu hasil yang sudah ada saja-entah baik maupun buruk-. Akhirnya, kebanyakan pemilih di kalangan anak muda pun memilih karena  sekedar disuruh orangtua, ingin bertemu tetangga(ya, ini alasan utama saya datang ke TPS, yakni karena saya ingin bersosialisasi dan menemukan pencerahan(apabila mungkin) mengenai siapa tokoh yang terbaik dari yang buruk (minus maklum).Mengambil keuntungan dari banyaknya golput, para elite politik pun menggunakan strategi praktis, yakni bagi-bagi uang( politik uang) maupun mencoba terlihat bersih dengna menghitamkan saingannya. Pada akhirnya, partai politik dan caleg yang beruang tebal lah yang akan menang. Saya tidak ingin pesimistis, namun saya tidak bisa mengabaikan pikiran saya bahwa setelah menang, para partai/caleg itupun pasti akan berusaha untuk mendapatkan uang untuk balik modal. Siapa sih yang mau kerja tapi rugi/mengalami defisit? Sesuai prinsip ekonomi sajalah, orang bekerja untuk mencari uang. Rasa-rasanya hampir tidak ada orang yang mau bekerja 5 tahun, kampanye kemana-mana jika tidak ada kepentingan pribadi dibaliknya. Dalam pikiran saya, "mana mungkin sih, orang karena nasionalisme bersedia keluar dari pekerjaan sehari harinya(baik sebagai pengusaha, bahkan hingga tukang tambal ban) jika tidak mendapatkan kentungan finansial?". Mau makan apa dia selama 5 tahun? Seandainya adapun, baisanya hanya sebatas tidak untung dan tidak rugi selama bekerja 5 tahun. Jika asumsi tidak rugi, maka mereka harus menutup biaya kampanye mereka yang luar biasa besar.

Jadi kembali ke topik, sebenarnya apa masalah dalam pemilu yang membuat kaum muda malas terjun ke politik?

Menurut analisa saya, hal ini dikarenakan jumlah partai di Indonesia yang cukup banyak( dibanding dengan negara demokrasi lainnya yang jumlah partainya berkisar di 3-6 partai), minimnya kesadaran politik masyarakat akibat minimnya pendidikan politik dan rasa nasionalisme. Dengan banyaknya partai, berarti persaingan akan semakin ketat. Positifnya, kita dihadapkan kepada banyaknya pilihan-pilihan, dengan harapan ada yang terbaik dari pilihan-pilihan itu. Negatifnya, hal ini membuat para caleg harus 'berdandan' sebaik mungkin agar dapat menang. Inilah yang akhirnya menjadikan biaya politik yang besar-yang memacu korupsi dan politik praktis dimana para caleg menarik perhatian dengan sebar-sebar uang, bagi sembako, kampanye gelap dlsb. Hal ini tidak terlepas dari minimnya pengalaman politik cleg dan minimnya pengetahuan rakyat akan politik. Dengan banyaknya partai, caleg seakan perlu berlomba banyak-banyakan spanduk,poster dan atribut politik serta melakuakn politik uang untuk dapat menang--menutup kelemahan mereka sendiri dengan popularitas praktis serta menyerang pihak lain sebelum 'keburukan mereka terlihat'. Ini kembali lagi pada permasalahan bahwa rakyat sendiri, karena tidak mengenal(maupun tidak mau mengenal) politik karena sejarah buruk politik di Indonesia.

Pertanyaan berikutnya; mengapa kaum muda tidak mau terjun ke politik untuk memperbaiki kerusakan yang ada?

Hal ini dalam analisa saya disebabkan karena apatisme akan adanya teladan/ tokoh politik yang dapat menjadi contoh pemimpin yang mampu 'membersihkan' kekotoran dalam politik. Mereka takut( dan sayapun takut) untuk mengambil resiko itu, karena sesuatu yang baru(bersih, optimis, transparan) pasti tidak disukai oleh para tikus yang sudah ada. Mereka yang bersih akan menjadi sasaran tembak para koruptor yang tidak ingin diobrak-abrik kerajaannya. Seperti dalam ungkapan 'sebersih-bersihnya seseorang, apabila dicelupkan kedalam air kotor, ia sedikit banyak akan menjadi kotor pula' , anak muda pun tidak mau memasukkan dirinya ke dalam kotoran itu agar ia tetap bersih. Sedangkan, bagi profesional muda yang bersih, masuk dalam politik tidaklah menarik karena beratnya perjuangan yang harus mereka tempuh, besarnya biaya, dan resiko tidak terpilih( mereka siap melakukan perubahan, namun rakyat belum mampu menerima perubahannya. Seperti layaknya superman dalam film man of steel(2013) dimana superman tidak ingin membuka jati dirinya karena dunia belum siap menerimanya.

Lantas apa solusinya?

Solusi terbaik menurut saya adalah dengan membatasi jumlah partai politik(melalui seleksi di KPU) sehingga dengan jumlah yang sedikit akan terdapat persaingan yang ketat (bukan persaingan popularitas di rakyar, namun persaingan kualitas dalam partai sebelum mereka diperkenalkan pada rakyat), mendorong promosi partai politik secara kolektif (caleg tidak diizinkan untuk memasang atribut politik pribadi, melainkan 1 spanduk berisi seluruh nama caleg dari parpol beserta 1 kalimat yang menggambarkan mereka( ini dilakukan agar biaya politik dapat ditekan). Dengan adanya jumlah partai yang sedikit, caleg akan berusaha tampil maksimal didepan para penilai di partai agar bisa diajukan oleh partai. Mereka diwajibkan adu gagasan, bukan adu banyaknya atribut politik dan dana kampanye di hadapan partai dan penilai penilai independen.

Dengan jumlah parpol yang sedikit, masyarakat diharapkan dapat mengenal lebih dalam karakter tiap partai dan caleg-calegnya (tentunya kita lebih mudah menghapal 3 partai dibanding 10 partai bukan?). Hal ini juga dapat mempermudah kontrol oleh masyarakat (kita akan lebih mduah mengingat calon-calon yang kita pilih jika jumlah mereka sedikit bukan?).

Selain itu, partai juga akan lebih selektif dalam memilih calon (tidak seperti sekarang, dimana parpol seakan membiarkan para calegnya bersaing, bahkan  bersaing secara kotor menghadapi rekan separtainya). Peran parpol diharapkan tidak sebatas menjadi label di poster poster claeg, melainkan juga menjadi panitia seleksi. Parpol, yang hanya sedikit, akan merasa 'dihukum lebih berat' oleh masyarakat apabila calegnya nanti bermasalah(korupsi dll) karena merekalah yang menyeleksi calegnya. Jadi, masyarakat hanyalah perlu memilih produk jadi(produk produk terbaik hasil olahan parpol), bukan barang mentah lagi. Parpol diharapkan bukan hanya menjadi distributor caleg, melainkan juga produsen caleg berkualitas. Hingga kini, saya belum pernah mendengar parpol mengadakan pelatihan, training, pembelajaran manajemen kepada caleg-calegnya. Yang saya dengar, parpol hanya membuka lowongan bagi caleg, melakukan seleksi seadanya(yang hingga kini saya tidak tahu cara parpol menseleksi calegnya) lalu menjualnya pada rakyat layaknya penyalur PRT(pembantu rumah tangga). Saya mengharapkan adanya karantina( setidaknya 1 bulan penuh ditempat yang terisolasi, bebas dari gangguan media dan para caleg ini nantinya tidak boleh keluar masuk, mengurus bisnis, maupun berkomunikasi pada pihak lain) dimana nantinya caleg didampingi oleh para profesional, diajari manajemen, diajari kedisiplinan, diajari ilmu leadership, ilmu pemerintahan dan mengolah stres, keuangan, public speaking dll (karena jujur saya kaget mendengar lulusan SMA, seorang tukang tambal ban bisa menjadi caleg atau lulusan sekolah antah berantah yang entah bagaimana bisa terpilih.

Jadi, kembali lagi pada pemerintah, masyarakat dan para pemangku kepentingan(parpol, caleg, dll). Mampukah keluar dari rantai gelap ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar